Selasa, 10 November 2015

Laporan Study Tour Bukittinggi

Rangkuman
Rentetan Peristiwa :
Berkumpul di sekolah :                       06.45
Pelepasan dari kepala sekolah :           07.00-07.30
Masuk bus :                                         07.35
Berangkat menuju Bukittinggi :          07.45
Sampai ke Taman wisata panorama :  10.55
Masuk ke Lubang Jepang :                 11.05
Ke Benteng Fort de kock :                 12.30
Hunting Tourist :                                  Di waktu luang, Kapanpun dan dimanapun bertemu turis
Pulang ke padang :                              17.15
Sampai di padang :                             21.15

Informasi yang dapat diperoleh :
Lubang Jepang
begitu lewat mulut gua segera kita menuruni perut bumi. Seluruhnya 132 undakan atau anak tangga, sampailah kita di dasar gua. Atau pada kedalaman 40 meter dari permukaan tanah. Panjang terowongan total 4 km. Dengan satu pintu masuk dari arah Panorama, jika jalan langsung ke arah pintu di ujungnya hanya sekitar sekilo. Ada tiga pintu ke luar di bagian darah Bukit Apik. Tapi cuma dua yang berfungsi. Satu persis di bawah tebing gardu panorama, telanjur ditutupi sampah.

Di dalam gua ada penerangan listrik. Lantainya dilapisi konblok. Dinding serta langit-langit dipoles semen. Menurut Azwarman — Kepala Seksi Sarana Prasarana Kantor Pariwisata Bukittinggi, pemolesan dinding serta langit-langit gua ini dilakukan tahun 1974. Ketika terjadi gempa hebat beberapa waktu lampau, ada bagian terowongan yang retak. Tapi hanya lapisan semen saja. Sedangkan tanahnya tetap utuh. Unik juga konstruksi tanah di bawah Kota Bukittinggi ini. Sebab bagian lain yang merupakan tebing kota ini ada yang runtuh. Longsor parah terjadi di tebing seberang, bagian dari Nagari Kotogadang.

Pengumuman pada panil di gerbang gua, tinggal sebatas catatan di atas kertas, rupanya. Sepanjang lorong yang dilewati, masih berupa lubang asli buatan Jepang. Ada ruang amunisi, yang diberi pintu terali besi. Di bagian kiri kanan dinding menjelang mulut gua untuk keluar, ada mushala masing-masing untuk pria dan wanita. Juga toilet sendiri-sendiri, yang kini masih terkunci. Belum ada air masuk ke sini. “Bak airnya sudah lama dibikin di atas,” kata Azwarman. “Tapi sampai sekarang belum juga disambungkan pipa ke sini”.

Menarik dicatat adalah lokasi yang dituliskan sebagai Ruang Romusha alias pekerja paksa (lihat juga : Tak Ada Kerja Paksa). Tampaknya untuk membuat “Lobang Jepang” sebagai objek wisata, perlu dilengkapi dengan riset yang akurat datanya. Sehingga penyuguhan aneka materi tontonan lain — sebagaimana tercantum pada panil di gerbang, memang memperkaya khazanah pengetahuan publik secara sahih.

Sedikit tambahan, para petinggi Kota Bukittinggi mungkin pernah ke Mesir. Tentu sempat menyaksikan piramida peninggalan zaman Fir’aun tempo dulu. Ini sudah lama dijadikan tontonan khas di waktu malam. Puluhan lampu sorot bermain di padang pasir dihiasi suara, terkenal sebagai sonne et lumiere alias suara dan cahaya.

Juga di Thailand. Ingat, ada film yang dibintangi Alec Guines bernama Bridge on the River Kwai. Jembatan ini dikerjakan tahun 1943 oleh Jepang, dengan mengerahkan tawanan perang yang terdiri dari pasukan Sekutu serta romusha dari Asia. Proyek berdarah ini tulen kerja paksa untuk menghubungkan bagian daerah Thailand dengan Burma. Lokasinya di Provinsi Kanchanaburi, 130 km di barat Kota Bangkok.

Drama sekitar jembatan itu, kini merupakan bahan tontonan malam — menggunakan pola suara dan cahaya pula. Konsep serupa tampaknya bisa diterapkan untuk atraksi khas Lubang Jepang di Bukittinggi.

Tak Ada Kerja Paksa

ADALAH Hirotada Honjyo, lahir 1 Januari 1908, di kota kecil Iizuka, Provinsi Fukuoka, Kepulauan Kyushu, Jepang Selatan. Tamatan Fukultas Hukum, Hosei University, Tokyo, penggemar olahraga rugby ini, bekerja di perusahaan tambang batu bara, Asou Koggyo. Ia beroleh pengetahuan dasar tentang pertambangan dan terowongan. Berikut ini penuturannya yang ditulis tanggal 17 April 1997. Ia meninggal dunia tahun 2001.

Honjyo-san harus membuat “lubang perlindungan” di Ngarai Bukittinggi, atas instruksi Panglima Divisi ke-25 Angkatan Darat Bala Tentera Jepang, Letjen Moritake Tanabe. Waktu itu, ia berpangkat Kapten Angkatan Darat, perwira staf keuangan, sebagai jurubayar, untuk merencanakan, membuat dan mengawasi pelaksanaan sebuah “lubang perlindungan”.

Semua berkas mengenai rencana, gambar, spesifikasi dan anggarannya, sudah tidak ada lagi. Semua dibakar sesaat balatentara Jepang kalah, tanggal 15 Agustus 1945, sesuai perintah Panglima Letjen Moritake Tanabe. “Walaupun telah lewat 50 tahun lebih, saya masih ingat menggambarkan dan menyatakan cara pembuatan dan perencanaan pelaksanaan lubang lindungan tersebut,” kata Hojyo-san.

Konstruksinya mulai dikerjakan bulan Maret 1944, dan selesai pada awal Juni 1944. “Hal ini tidak bisa saya lupakan, karena sampai sekarang ada album kenang-kenangan yang saya simpan,” katanya. Pembuatan terowongan dikerjakan di bawah pimpinan tiga ahli tambang batubara, dikirim dari perusahaan Hokkaido — Tanko Kisen Co. Perusahaan tambang batu bara terkenal di Hokkaido ini selama pendudukan balatentera Jepang, juga mengerjakan tambang batubara Ombilin.

Ketiga ahli terowongan itu adalah (1) Ir. Toshihiko Kubota, sebagai ketua, (2) Ir. Ichizo Kudo (3) Ir. Uhei Koasa. Mereka sudah meninggal. Selain dari orang-orang Jepang, ada juga beberapa orang Indonesia yang bekerja di tambang batubara Ombilin diperbantukan mengerjakan “lubang perlindungan” ini.

Konstruksi lubang perlindungan tersebut dijalankan menurut pembagian peranan keahlian, dengan contoh “sakiyama” membuat tambang batubara yang digali, kemudian diteruskan dengan “atoyama” atau mengambil galian “sakiyama” tersebut. Jadi “atoyama” dikerjakan sesudah pelaksanaan “sakiyama.” Urusan “sakiyama” dikerjakan oleh ahli-ahli bangsa Jepang, kemudian secara “atoyama” dikerjakan orang-orang Indonesia dan buruh-buruh harian.

Mereka yang menggali dan membuat dinding kayu untuk menahan reruntuhan. Lubang dibuat sempit, dapat dilalui seorang dengan membawa alat-alat pengebor, sehingga tidak dapat dikerjakan oleh banyak orang. Tiap hari rata-rata memerlukan tenaga kerja 50 atau 100 orang. Para pekerja ini didatangkan dan disediakan oleh Kantor Kotapraja Bukittinggi, yang terdaftar dan dibayar sebagai buruh harian. Mereka membawa bekal makanan sendiri untuk makan siang.

“Saya adalah seorang perwira staf keuangan, sebagai ahli jurubayar dan selama bertugas tidak menggunakan kekuasaan tentara dan fasilitas lainnya,” kata Honjyo-san. “Kepada saya diperbantukan seorang sersan dari Markas Besar Panglima dan beberapa lori untuk keperluan angkutan kerja”.

Selama tiga bulan bertugas, katanya, tidak ada terjadi insiden atau kecelakaan. Dan selama bertugas tidak menggunakan senjata, baik senjata berupa pedang samurai maupun senjata api lainnya. “Lubang perlindungan Jepang” itu tidak merupakan benteng pertahanan. tapi hanyalah lubang untuk melindungi diri. Supaya terhindar dari serangan bahaya udara.

Instruksi Panglima Divisi ke-25 Angkatan Darat Balatentara Jepang itu menyebutkan lagi: (1) membuat sebuah lubang perlindungan yang bisa menahan getaran letusan bom sekuat 500kg. (2) membuat lubang perlindungan yang dilengkapi dengan ruangan-ruangan untuk keperluan Markas Besar, ruang kantor dan fasilitas-fasilitas lainnya untuk keperluan Divisi ke-25 Angantan Darat.

Konstruksi lubang perlindungan tersebut tidak rahasia dan tidak ada yang perlu dijaga. Untuk bisa menahan getaran letusan bom di atas 500kg, perlu penggalian sedalam 40-meter dari permukaan bumi atau 20-m dari ujung penggalian jurang tebing. Untuk menguatkan dan kokohnya dinding lubang, dibuat bentuk “torii-gumi” — menyerupai pintu depan lambang agama Shinto. Yaitu bagian bawah lebih besar daripada bagian atas.

Lubang perlindungan ini terbagai dua. Satu blok khusus untuk keperluan Markas Besar Divisi ke-25 Angkatan Darat. Satu blok lagi yang lebih aman terhindar dari serangan bahaya udara, dapat melindungi dan menyembunyikan diri. Tiap ruangan dihubungankan dengan jalan udara dari ujung jurang tebing yang agak besar sampai ke ujung yang lebih kecil. Sehingga udara segar bisa leluasa berlalu-lintas di dalamnya.

Kapasitas lubang tersebut direncanakan untuk 500 orang. Ditambah dengan k pegawai kantor bisa mencapai 1000 orang dalam keadaan darurat. Di dalam lubang perlindungan tersebut tidak ada dapur. Sebab kalau memasak, akan mengurangi zat asam, mengeluarkan asap yang mengusik oksigen. Dengan kata lain, rancangan membuat kafe di dalamnya nanti perlu dipertimbangkan masak-masak.
Benteng Fort de kock
Iklimnya yang sejuk karena berada di dataran tinggi, sekitar 930 meter dari permukaan laut membuat anda akan merasa rileks di Kota ini. Kota yang berjarak kurang lebih 90 Km dari pusat Kota Padang terse­but ternyata banyak memiliki bangunan kuno bersejarah, yang merupakan peninggalan dari masa penjajahan Belanda di Indonesia. Salah satunya ialah Fort de Kock
Belanda saat menduduki Kota Bukittinggi. Nama Fort de Kock sendiri, ternyata adalah nama lama dari Bukit­tinggi. Benteng ini dibangun pada masa Perang Paderi, sekitar tahun 1825 oleh Kapt. Bauer. Bangunan kokoh yang itu dibangun di atas Bukit Jirek, dan awalnya diberi nama Sterrenschans. Lalu, tak lama namanya berubah menjadi Fort de Kock, oleh Hendrik Merkus de Kock, yang merupakan salah satu tokoh militer Belanda.
Usai membangun benteng tersebut, beberapa tahun kemu­dian di sekitar benteng ini berkembang sebuah kota yang juga diberi nama Fort de Kock. Dan kini berubah nama menjadi Bukittinggi.
Semasa pemerintahan Be­lan­da, Bukittinggi dijadikan sebagai salah satu pusat peme­rintahan, kota ini disebut sebagai Gemetelyk Resort pada tahun 1828. Sejak tahun 1825 pemerintah koloial Belan­da telah mendirikan sebuah benteng di kota ini sebagai tempat pertahanan, yang hingga kini para wisatawan dapat melihat langsung benteng tersebut yaitu Fort de Kock. Selain itu, kota ini tak hanya dijadikan sebagai pusat peme­rintahan dan tempat pertahanan bagi pemerintah kolonial Belanda, namun juga dijadikan sebagai tempat peristirahatan para opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya.
Fort de Kock juga diba­ngun sebagai lambang bahwa Kolonial Belanda telah berhasil menduduki daerah di Sumatera Barat. Benteng tersebut meru­pakan tanda penjajahan dan perluasan kekuasaan Belanda terhadap Bukittinggi, Agam, dan Pasaman. Belanda memang cerdik untuk menduduki Su­ma­tera Barat, mereka meman­faatkan konflik intern saat itu, yaitu konflik yang terjadi antara kelompok adat dan kelompok agama. Bahkan Belanda sendiri ikut membantu kelompok adat, guna menekan kelompok aga­ma selama Perang Paderi yang berlangsung 1821 hingga tahun 1837.
Belanda yang membantu kaum adat melahirkan sebuah kesepakatan bahwa Belanda diperbolehkan membangun basis pertahan militer yang dibangun Kaptain Bauer di puncak Bukit Jirek Hill, yang kemudian diberi nama Fort de Kock.
Setelah membangun di Bukit Jirek, Pemerintah Kolo­nial Belanda pun melanjutkan rencananyamengambil alih beberapa bukit lagi seperti Bukit Sarang Gagak, Bukit Tambun Tulang, Bukit Cubadak Bungkuak, dan Bukit Malam­bung. Di daerah tersebut juga dibangun gedung perkantoran, rumah dinas pemerintah, kom­pleks pemakaman, pasar, sarana transportasi, sekolah juga tempat rekreasi. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan Kolonial Belanda tersebut dalam istilah Minangkabau dikenal dengan “tajua nagari ka Bulando” yang berarti Terjual negeri pada Belanda. Di masa itu memang, Kolonial Belanda menguasai 75 persen  wilayah dari lima desa yang dijadikan pusat perdagangan.
Sejak direnovasi pada tahun 2002 lalu oleh pemerintah daerah, Fort de Kock, kawasan benteng kini menjadi Taman Kota Bukittinggi (Bukittinggi City Park) dan Taman Burung Tropis (Tropical Bird Park). Disini anda tak hanya disajikan pemandangan alam, anda bersa­ma kelaurag juga menemui beberapa satwa burung yang menjadi koleksi di taman ini.
Setelah mengetahui banyak hal tentang catatan sejarah mengenai Fort de Kock ada baiknya anda santai sejenak di kawasan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan, yang lokasinya satu kompleks de­ngan benteng peninggalan Belanda tersebut. Selain itu di kompleks Kebun Binatang tersebut juga terdapat Museum Rumah Adat Baanjuang. Anda tak perlu bingung saat mema­suki kawasan itu, benteng terletak di bukit sebelah kiri pintu masuk. Sedangkan kebun binatang dan museum berben­tuk rumah gadang tersebut berada di bukit sebelah kanan.
Keduanya dihubungkan oleh Jembatan Limpapeh yang di bawahnya adalah jalan raya kota Bukittinggi. Kawasan ini hanya terletak 1 km dari pusat kota Bukit Tinggi yaitu kawa­san Jam Gadang, tepatnya di terusan jalan Tuanku nan Renceh.
Dari atas jembatan anda dapat menikmati pemandangan pegunungan dan ngarai yang ada di sekitar kawasan tersebut seperti Ngarai Sianok, Gunung Merapi, Gunung Singgalang, Gung Sago dan Gunung Tan­dikek.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar